Waktu yang Dihabiskan di Media Sosial: Sebuah Perjalanan Pribadi
Sejak pandemi melanda, saya menemukan diri saya menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial dibandingkan sebelumnya. Awalnya, saya terjebak dalam siklus scrolling tanpa akhir. Setiap kali membuka aplikasi, entah itu Instagram atau Twitter, rasanya seperti memulai petualangan baru—meski kadang-kadang petualangan itu berakhir dengan rasa lelah dan bingung. Namun, dalam proses ini, saya belajar banyak tentang diri sendiri dan bagaimana mengelola waktu digital saya.
Momen Awal: Keterikatan yang Tak Terhindarkan
Pada awal tahun 2020, ketika lockdown pertama kali diterapkan di tempat tinggal saya—sebuah kota kecil di tepi laut—dunia seakan berhenti. Tidak ada lagi hangout dengan teman-teman atau makan siang di kafe favorit. Sebagai seorang penulis freelance, pekerjaan pun menjadi lebih menantang karena banyak klien saya juga menghentikan proyek mereka sementara waktu. Dalam suasana yang penuh ketidakpastian ini, media sosial tampak seperti pelarian yang manis.
Saya ingat malam-malam panjang saat scrolling melalui feed Instagram sambil mendengarkan musik pelipur lara. Di sana, saya menemukan berbagai konten menarik dari influencer hingga komunitas hobi yang baru muncul. Beberapa teman bahkan mulai live streaming untuk berbagi tips kesehatan mental dan kebugaran fisik. Lalu ada juga konten DIY yang membuat hati bergetar untuk mencoba sesuatu yang baru—belanja perhiasan secara online menjadi salah satu aktivitas kesukaan baru (saya tidak bisa menahan diri melihat koleksi justbecausejewellery). Semua hal ini membuat media sosial terasa lebih dari sekadar platform; ia menjadi sarana keterhubungan.
Tantangan: Ketergantungan vs Keseimbangan
Namun seiring waktu berlalu, rasa kecanduan mulai muncul. Saya sadar bahwa terlalu banyak mengecek notifikasi memberi dampak negatif pada produktivitas dan kesehatan mental saya. Terkadang ada rasa cemas ketika melihat orang lain tampak lebih produktif atau bahagia—hal ini menciptakan perasaan tidak cukup baik dalam diri sendiri.
Pernah suatu ketika saat tengah malam, saya masih terjaga dan scroll TikTok tanpa henti hanya untuk menemukan video lucu demi menghibur diri setelah hari melelahkan. Jam menunjukkan hampir dua pagi ketika akhirnya menyadari bahwa tidur adalah kebutuhan mendasar bagi tubuh kita! Saat itulah momen refleksi datang; apakah semua ini sebanding? Apakah hidup hanya akan berputar pada dunia maya? Ini memicu konflik dalam diri sendiri antara keinginan untuk tetap terhubung dan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan hidup.
Proses Mencari Solusi: Menyusun Rencana Digital
Dari pengalaman tersebut muncul keinginan kuat untuk mencari solusi nyata supaya penggunaan media sosial bisa lebih produktif daripada sekadar hiburan kosong. Saya kemudian menyusun rencana digital: membatasi waktu menggunakan aplikasi tertentu dengan pengaturan alarm sebagai pengingat setiap sesi bermain mencapai batas waktu 30 menit per hari.
Saya juga mulai mengevaluasi konten apa saja yang benar-benar memberi manfaat bagi hidup sehari-hari—apakah itu informasi berguna tentang penulisan kreatif atau akun inspiratif yang memberikan motivasi positif? Dengan cara ini, kualitas interaksi di media sosial pun meningkat; alih-alih hanya melihat postingan acak tanpa makna.
Hasilnya: Refleksi Akhir dan Insight Berharga
Setelah beberapa bulan menjalankan strategi tersebut, hasilnya ternyata cukup memuaskan. Saya merasa lebih memiliki kontrol atas waktu dibandingkan sebelumnya; saat berselancar di internet bukan lagi sebuah bentuk pelarian tetapi justru menjadi sumber inspirasi bagi tulisan-tulisan saya selanjutnya.
Tentu saja tidak semua masalah terselesaikan sempurna; kadang kerinduan terhadap ketidakberdayaan scrolling masih mampir sesekali—but hey, manusiawi kan? Namun belajar dari pengalaman tersebut memberikan insight berharga tentang pentingnya memprioritaskan kesehatan mental sembari tetap bersosialisasi secara online secara bijaksana.
Kita hidup dalam era digitalisasi yang luar biasa cepat; terjebak di dunia media sosial adalah masalah umum namun bukan tak dapat diselesaikan—itu sangat tergantung bagaimana kita memilih menggunakan alat tersebut dengan arif dan bijaksana.
Akhir kata, izinkanlah dirimu menikmati perjalanan belajar ini sekaligus memberi ruang bagi ketidakstabilan emosional serta manfaat positif dari konektivitas global hari ini!